Oleh: Anindita Puteri Wandasari, S.Pd

November 2022 (Lomba Menulis dalam rangka Peringatan Hari Guru)

Latar Belakang

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tentu akan sangat banyak hal menarik yang dapat dibahas, terlebih beberapa waktu yang lalu marak pemberitaan mengenai murid yang memenjarakan gurunya karena menegur ketika melakukan kesalahan. Karakter peserta didik generasi Z sangat berbeda dengan karakter peserta didik generasi milenial dan generasi-generasi sebelumnya. Generasi milenial adalah anak-anak yang lahir dalam rentang tahun 1977-1995, sedangkan generasi Z adalah anak-anak yang lahir dalam rentang tahun 1996-sekarang. Karakteristik anak-anak generasi Z antara lain sangat akrab dengan teknologi, ketergantungan akan internet cukup tinggi, berpikiran terbuka, dan lebih individual.

Tantangan yang dialami oleh guru masa kini lebih berat bila dibandingkan dengan guru jaman dulu karena anak-anak generasi sekarang sudah banyak dilanda krisis moral yang disebabkan oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Banyak kasus yang terjadi, salah satunya seperti yang dipaparkan oleh Gerakan Moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) pada tahun 2015 tentang peredaran video porno melalui media sosial yang dibuat oleh anak-anak dan remaja Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada tahun 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Kondisi sekarang jauh lebih parah, fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar SMA.[1] Melihat realitas dari peristiwa di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa telah terjadi dekadensi moral di tengah masyarakat, khususnya di lingkup anak negeri. Kemerosotan moral yang terjadi di masyarakat tidak terlepas dari Globalisasi Effect di mana arus teknologi informasi lewat media cetak, televisi, dan internet telah banyak menyebarkan virus kebudayaan barat.

Melihat permasalahan sosial di atas, yang menjadi perhatian yaitu menghilangnya mata pelajaran Bimbingan dan Konseling (BK) pada kurikulum 2013 di sekolah, padahal ketika saya sekolah dulu pelajaran BK sangat berguna untuk membangun karakter peserta didik. Jika mata pelajaran BK dihilangkan, maka satu-satunya mata pelajaran yang bertanggung jawab dalam mendidik moral anak bangsa adalah mata pelajaran Pendidikan Agama, sebab merosotnya moral anak bangsa terjadi akibat tidak diimbangi dengan pemberian input pendidikan agama dan moral di dalamnya. Alokasi waktu mata pelajaran Pendidikan Agama di kurikulum 2013 hanya mendapat porsi 3 jam/minggu untuk SMA, sedangkan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika mendapat 4-6 jam/minggu. Alokasi waktu pemberian mata pelajaran Agama yang masih di bawah alokasi mata pelajaran umum lainnya menandakan kurang seriusnya pemerintah dalam rangka memerangi kemerosotan moral anak bangsa.

Salah satu Sekolah Islam Terpadu di daerah Yogyakarta, SMAIT Abu Bakar, memiliki metode pendidikan yang cukup efektif untuk mendidik anak-anak usia remaja, khususnya dalam hal membentuk karakter anak dari segi agama, yaitu metode tarbiyah. Sejak 15 tahun yang lalu, sekolah ini sudah menerapkan metode tarbiyah dalam mendidik siswa-siswinya. Metode tersebut telah banyak membantu peserta didik untuk keluar dari masalah yang dihadapi hingga menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalahnya, serta membantu para orang tua yang merasa kewalahan dalam menghadapi permasalahan anak-anaknya, sehingga semakin banyak orang tua yang mempercayakan anak-anaknya bersekolah di SMAIT Abu Bakar.

Bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran apabila sumber daya manusianya banyak yang mengalami krisis moral, terutama di era sekarang, di mana arus globalisasi dan modernisasi mengalir cukup deras, sementara peran orang tua di rumah kurang maksimal dalam mendidik dan mengawasi anak-anaknya karena faktor waktu dan ketidak-leluasaan orang tua dalam memasuki dunia anak. Solusi yang dapat diterapkan kepada anak, salah satunya yaitu dengan melakukan pendampingan berbasis agama di sekolah oleh pendidik. Sehingga penulis memberikan gagasan yaitu Tarbiyah: Metode Pendidikan Berbasis Agama sebagai Upaya Pendidik di Sekolah Islam Terpadu untuk Menanggulangi Krisis Moral Generasi “Z”

Urgensi Masalah

Secara umum terdapat 2 masalah mendasar yang dihadapi anak-anak generasi Z, yaitu:

  • Ketergantungan generasi Z terhadap teknologi komunikasi yang cukup tinggi menyebabkan permasalahan dekadensi moral khususnya di lingkup pendidikan
  • Merosotnya moral anak bangsa diakibatkan oleh tidak seimbangnya pemberian input pendidikan agama dan moral dalam pembelajaran di sekolah, di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi

Tujuan Penulisan

  • Menganalisis penyebab permasalahan anak-anak generasi Z sehingga mengalami dekadensi moral
  • Memberikan solusi alternatif dalam mendidik generasi Z di sekolah dengan metode tarbiyah agar anak dapat memiliki moral dan karakter yang baik sebagai benteng untuk menghadapi dampak negatif globalisasi dan modernisasi.

 Permasalahan Umum

Anak jaman sekarang merupakan generasi yang tingkat ketergantungannya terhadap teknologi komunikasi berbasis internet sangat tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang dihimpun oleh Pew Research Center tahun 2015 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tingkat pengguna internet berdasarkan usia

Pengguna internet di seluruh dunia didominasi oleh generasi muda yang saat ini lebih dikenal dengan nama generasi Z. Menurut Pew Research Center seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, generasi Z usia 12-17 tahun dan usia 18-29 tahun sama-sama memiliki pengguna internet dengan presentase sebanyak 93%, jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengguna internet usia dewasa.[2]

Badan Pusat Statistik tahun 2022 menyatakan bahwa populasi penduduk di Kota Yogyakarta didominasi oleh generasi Z atau manusia yang lahir pada tahun 1996 hingga sekarang.[3] Seperti yang terlihat pada Tabel 1, penduduk dengan rentang usia 5-24 tahun berjumlah 1.130.500 jiwa dari total populasi penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 3.958.400 jiwa.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di DIY 2022

Kelompok Umur Proyeksi Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di D.I. Yogyakarta (x 1000)
Laki-laki Perempuan Jumlah
2022 2022 2022
0 – 4 141,5 135,3 276,8
5 – 9 146,2 140,0 286,2
10 – 14 143,5 136,6 280,1
15 – 19 141,9 135,3 277,2
20 – 24 146,3 140,7 287,0
25 – 29 157,6 153,7 311,3
30 – 34 160,5 156,2 316,7
35 – 39 143,6 142,6 286,2
40 – 44 133,3 136,5 269,8
45 – 49 129,2 133,5 262,7
50 – 54 125,5 133,1 258,6
55 – 59 114,0 124,9 238,9
60 – 64 96,7 106,9 203,6
65 – 69 73,9 80,6 154,5
70 – 74 48,0 56,9 104,9
75+ 58,2 85,7 143,9
Proyeksi Penduduk Indonesia 2022

Generasi Z yang saat ini berusia sekitar 5-24 tahun populasinya mendominasi kota-kota besar, salah satunya di DIY. Berdasarkan data dari BPS DIY tahun 2022 seperti yang terlihat pada Tabel 1, jumlah generasi Z presentasenya mencapai 34%.

Generasi tersebut lebih menggemari pola interaksi berbasis online yang dapat memberikan solusi cepat secara digital. Hal itu terlihat wajar karena generasi Z tumbuh di tengah era globalisasi sehingga sangat dekat dengan teknologi dan sistem informasi yang serba terbuka. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi tersebut dikhawatirkan dapat memberi dampak negatif terhadap generasi Z, aplikasi online berbasis musik seperti tik tok, musically, dan dubsmash kini sangat mudah dijumpai di media sosial Instagram. Namun aplikasi-aplikasi tersebut justru menurunkan kualitas moral generasi sekarang karena dianggap berlebihan dan terkesan mempermalukan diri sendiri lalu dibagikan secara masif melalui internet. Di era sekarang, kemajuan teknologi kerap membuat generasi Z sibuk mengikuti trend yang sedang hits dan membuat mereka lupa waktu bahkan lupa diri, khususnya untuk belajar dan beribadah sehingga sangat mudah terpengaruh dampak negatif dari teknologi tersebut.

Sementara itu, orang tua terkadang tidak dapat mengontrol aktivitas anak secara rutin selama 24 jam karena beberapa faktor, diantaranya karena orang tua sibuk bekerja sehingga komunikasi yang baik dengan anak kurang terjalin, anak tidak memperbolehkan orang tuanya untuk ikut campur dalam urusan pribadinya karena merasa dirinya sudah besar, orang tua yang gagap teknologi sehingga tidak mengetahui aktivitas anak di media sosial, dan orang tua yang masih mengabdi pada pola pikir konservatif sehingga tidak bisa mengikuti perkembangan jaman yang serba digital, atau dalam ilmu sosiologi disebut cultural lag. Masalah-masalah tersebut mendorong orang tua untuk mencari sekolah berbasis agama dan mempercayakan anaknya pada sekolah tersebut dengan harapan sekolah dapat membantu mereka untuk “mengkondisikan” anak-anaknya, baik dalam segi akademik maupun akidah.

Tinjauan Pustaka

  1. Generasi ‘Z’

Istilah “Generasi Z” dewasa ini sedang marak diperbincangkan di media sosial seperti televisi dan internet. Menurut dr. Miryam A. Sigarlaki, M.Psi., orang tua termasuk guru di sekolah harus mengenali karakteristik anak remaja zaman sekarang atau disebut generasi ‘Z’ (anak-anak yang lahir pada tahun 1996 hingga sekarang). Generasi tersebut lahir ketika teknologi sedang tumbuh dengan pesatnya dan saling bersaing menjadi yang terbaik. Mereka dimanjakan dengan segala fasilitas yang serba instan, hal itu merujuk pada kecenderungan anak-anak untuk selalu bersentuhan dengan gawai mereka sepanjang hari. Generasi Z sangat kuat relasinya di dunia maya, namun sangat kurang di dunia nyata. Mereka lebih bersifat skeptis dan sinis, menjunjung tinggi privasi, memiliki kemampuan multi-tasking yang hebat, ketergantungan terhadap teknologi, serta memiliki pola pikir yang sangat luas dan penuh kewaspadaan.

Menurutnya, dengan adanya gawai seharusnya anak-anak lebih cerdas dibanding generasi sebelumnya karena saat ini informasi sangat mudah diakses oleh perangkat tersebut. Namun yang terjadi justru banyak anak mengalami adiksi (kecanduan) yang menyebabkan seorang anak tidak bisa lepas dari gawai, sehingga menyebabkan kurangnya sosialisasi, tidak fokus pada pekerjaan, dan kompetensi sosialnya sangat kurang. Hal tersebut ia sampaikan dalam seminar “Problematika Remaja di Era Digital” yang digelar oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) di Gedung Hindarto Joesman Jalan Terusan Sudirman Kota Cimahi, Minggu, 2 April 2017. Dalam tulisan ini, penulis lebih memfokuskan Generasi Z pada anak-anak usia SMA.

  1. Dekadensi Moral

Menurut Emile Durkheim (1973), moralitas melibatkan tiga komponen. Pertama, moralitas melibatkan disiplin, yaitu suatu pengertian tentang otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan idiosinkratis (individual). Kedua, moralitas menghendaki keterikatan dengan masyarakat, karena masyarakat adalah sumber moralitas. Ketiga, melibatkan otonomi, suatu konsep tentang individu yang bertanggung jawab atas tindakan mereka.[4]

Masyarakat merupakan bagian paling penting dalam hidup kita. Berangkat dari perspektif ini, kita bisa melihat bagaimana keterikatan ini bisa menjadi sesuatu yang mengekang kita. Kenyataannya, kita tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat tanpa memutuskan diri kita dari diri kita sendiri. Akibatanya, ketika kita mendekap diri kita, kita mendekap sesuatu yang ada di luar diri kita. Jadi, seperti halnya moralitas membatasi dan mengekang kita dalam merespons kebutuhan alamiah kita, maka ketika masyarakat menuntut komitmen dan ketundukan kita terhadap kelompok, dia sekaligus juga memaksa kita untuk mengejawantahkan diri kita sendiri.

(Durkheim, 1925/1961: 71-72)

Ditinjau dari pendapat tersebut, dekadensi moral (penurunan kualitas moral) terjadi akibat rendahnya disiplin sosial, seseorang tidak memiliki otoritas dan tanggung jawab atas dirinya sendiri dan tindakannya, sedangkan disiplin menghadapkan seseorang pada tanggung jawab moral dirinya, yang bagi Durkheim merupakan kewajiban sosial, sehingga ia tidak dapat membatasi atau mengekang keinginannya, akibatnya ia tidak pernah merasa cukup dan selalu menuntut lebih.[5] Selain itu, yang tak kalah penting dalam mempengaruhi kualitas moral seseorang adalah pengetahuan tentang agama. Agama banyak mengajarkan tentang tanggung jawab dan kedisiplinan kepada umatnya, jadi apabila seseorang tidak memiliki pengetahuan agama yang baik, maka bukan hanya akan mengakibatkan penurunan kualitas moral manusia, namun bahkan akan mengakibatkan kerusakan moral.

Permasalahan dekadensi moral yang menjangkit generasi Z akibat candu dari gawai dimulai dari masalah ringan seperti lupa waktu karena ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri, turunnya minat belajar, anak tumbuh menjadi generasi alay yang mempermalukan diri sendiri demi mengejar trend, hingga masalah serius seperti menjadi penikmat konten pornografi di mana konten tersebut sangat mudah diakses, terlibat dalam kejahatan dunia maya (cyber crime), menjadi provokator ujaran kebencian di media sosial, serta menjadi trendsetter dalam hal negatif. Perilaku tersebut akhirnya banyak ditiru oleh para penggemarnya yang kebanyakan adalah remaja awal yang masih butuh bimbingan orang dewasa. Jika para trendsetter tersebut mengacuhkan disiplin sosial dan tanggung jawab terhadap segala tindakannya, maka angka pertumbuhan dekadensi moral di Indonesia akan terus meningkat.

  1. Tarbiyah sebagai Metode Pendidikan di Sekolah Islam Terpadu

Sekolah Islam Terpadu menjadi sebuah fenomena dalam pendidikan di Indonesia. Pertama, secara historis bangsa Indonesia tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai religius yang menjadi sumber dan daya kekuatan bangsa ini. Sekolah Islam Terpadu menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan umum. Menurut Sumantri (2011), selain mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, Sekolah Islam Terpadu juga memberikan peserta didiknya skill sesuai dengan bakat masing-masing. Hal ini sebenarnya mencoba menjawab tantangan zaman yang ke depan akan masuk pada era globalisasi dan perdagangan bebas. Anak-anak Indonesia harus sudah dibekali cara-cara manajerial, skill dan sebagainya yang menunjang dirinya untuk mampu bersaing.  Tentunya membentuk karakter mereka bukan untuk menjadi tenaga kerja, tetapi membuka lapangan kerja. Hal itulah yang membuat Sekolah Islam Terpadu sangat diminati oleh sekian banyak masyarakat Indonesia saat ini.[6]

Menurut Dewi (2010), hal di atas bisa menjadi dasar untuk mencoba menerapkan metode pembelajaran yang dilakukan di Sekolah Islam Terpadu, sehingga tidak melulu nilai angka yang diprioritaskan, tapi mulai mengarah kepada nilai akhlak yang dimiliki anak didik nantinya. Masyarakat mulai sadar dan melihat bahwa pendidikan di sekolah merupakan pondasi dari pendidikan selanjutnya. Pembentukan kecerdasan tidak hanya dinilai dari umum tapi juga agama, khususnya agama Islam. Kemerosotan moral yang terjadi pun juga disebabkan salah satunya oleh penanaman nilai agama pada anak usia dini yang diabaikan.[7]

Tarbiyah menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah berarti mendidik; pendidikan. Beliau mengatakan pendidikan yang seringkali disebut dengan tarbiyah ini mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan tarbiyah. Dengan pendidikan yang seimbang (tawazun) antara hati dan akal maka akan didapatkan kualitas sumber daya manusia yang luar biasa sesuai dengan ciri seorang muslim yang sempurna.[8] Tarbiyah menuntun dan memelihara peserta didik agar tumbuh menjadi manusia yang dewasa, bertambah ilmu pengetahuan dan keterampilannya, memiliki kerpibadian dan moral yang baik sehingga mampu menguasai suatu urusan untuk menunaikan tujuan, fungsi, dan tugas dari Allah SWT sebagai amanah kepada manusia.

Metode tarbiyah di Sekolah Islam Terpadu dengan metode pendidikan di sekolah lain memiliki beberapa perbedaan, perbedaan yang sangat terlihat tentu saja dalam segi agama yang berpijak pada syariat dan tuntunan agama Islam, seperti pemisahan antara laki-laki dan perempuan (baik guru maupun murid) dalam lingkup ruang kelas, organisasi, maupun di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah., ruang untuk laki-laki baik murid dan guru ditempatkan di lantai bawah, sedangkan ruang untuk perempuan di tempatkan di lantai atas. Untuk masalah pergaulan pun tak luput dari aturan agama, diantaranya murid laki-laki tidak boleh memasuki area murid perempuan dan sebaliknya, peserta didik dilarang pacaran selama mereka masih tercatat sebagai pelajar SMAIT Abu Bakar, jika melanggar maka hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah (drop out).

Metode tarbiyah di Sekolah Islam Terpadu yang erat kaitannya dengan penanggulangan dekadensi moral akibat pengaruh teknologi yaitu adanya larangan siswa membawa handphone ke sekolah dan asrama. Peraturan tersebut bertujuan agar fokus siswa terhadap pelajaran tidak terganggu dan menghindarkan siswa dari kebiasaan bermain gadget. Semua peraturan tersebut tertulis dalam buku PANTES (Panduan Tata Tertib Siswa), itu menjadi ciri khas yang membedakan Sekolah Islam Terpadu dengan sekolah yayasan Islam yang lain seperti Yayasan Al-Azhar dan Muhammadiyah.

Sekolah Islam Terpadu juga memiliki 7 aspek kekhasan Islam Terpadu yang wajib dimiliki oleh para peserta didiknya, antara lain sebagai berikut:

  • Memiliki aqidah yang lurus
  • Melakukan ibadah yang benar
  • Berkepribadian matang dan berakhlak mulia
  • Menjadi pribadi yang bersungguh-sungguh, disiplin, dan mampu menahan nafsunya
  • Memiliki kemampuan membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur’an dengan baik
  • Memiliki wawasan yang luas
  • Memiliki keterampilan hidup

Dalam aplikasinya, Sekolah Islam Terpadu menerapkan pendekatan penyelenggaraan pembelajaran dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak lepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam. Contoh pengaplikasian materi pembelajaran sosiologi yang dikorelasikan dengan Al-Qur’an dan hadits yang pernah saya buat yaitu seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2. Prezi (materi sosiologi yang membahas tentang perilaku menyimpang)

Gambar 3. Prezi (korelasi dalil Al-Qur’an surat Al-A’raf dengan materi perilaku menyimpang)

Materi di atas adalah materi pelajaran sosiologi kelas X yang membahas tentang perilaku menyimpang beserta keterkaitannya dengan QS. Al-A’raf ayat 16-17 yang saya sampaikan menggunakan aplikasi Prezi, media presentasi berbasis online. Metode penyampaian materi tersebut bertujuan untuk memahamkan dan menyadarkan peserta didik bahwa segala sesuatu yang mereka pelajari di sekolah (dunia), baik-buruknya telah tertuang dalam Al-Qur’an dan hadist yang merupakan pedoman hidup umat Islam, segala perilaku manusia sudah diatur dalam kitab tersebut, sehingga tidak ada keraguan dalam diri mereka untuk mengimaninya. Hal itu yang menjadi salah satu tujuan Sekolah Islam Terpadu.

Dokter Miryam A Sigarlaki, M.Psi. berpendapat bahwa anak-anak generasi Z adalah generasi yang susah diatur, mereka tidak mau mendengar masukan orang yang sifatnya menggurui dan kurang bisa bersosialisasi dengan orang yang lebih tua. Oleh karena itu, metode pendidikan harus disesuaikan. Metode tarbiyah yang telah diajarkan oleh Sekolah Islam Terpadu sangat cocok dan efektif untuk menuntun anak-anak generasi Z dalam bertingkah laku dan bersosialisasi agar memiliki moral dan karakter yang baik karena selain memenuhi aspek akademik, sekolah juga melibatkan aspek agama dalam mendidik.[9]

Kesimpulan dan Rekomendasi

Metode tarbiyah sudah lama diterapkan oleh para pendidik di Sekolah Islam Terpadu untuk mendidik siswa-siswinya. Pengalaman sekolah selama 15 tahun dalam mendidik siswa menggunakan metode tersebut telah banyak menghasilkan alumni yang berkarakter Islami dan tersebar di berbagai universitas baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lulusannya juga banyak yang telah berhasil menamatkan Al-Qur’an dan menyandang gelar hafidz/hafidzah. Berbagai aturan berbasis agama yang ada dalam metode tarbiyah dapat digunakan sebagai alat untuk menanggulangi dekadensi moral anak-anak generasi Z yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi informasi.

Peran pendidik di sekolah sangat penting dalam membina peserta didik dari berbagai aspek, khususnya aspek karakter. Adanya metode tarbiyah sangat membantu pendidik untuk dapat mendidik dan mengarahkan siswa-siswinya dalam pembentukan karakter yang baik dan berkualitas, sehingga moral generasi penerus bangsa dapat diselamatkan, pembangunan di bidang pendidikan pun terus mengalami peningkatan.

[1] Seminar Guru dan Pelajar Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Bakesbangpol dan Linmas Kabupaten Bojonegoro, tanggal 26 November 2014 di Griya Dharma Kusuma Bojonegoro

[2] Pew Research Center, Internet User by Age Groups, 2015.

[3] BPS. 2016. Indonesia Population Projection 2010–2035. Badan Pusat Statistik, Yogyakarta

[4] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori-Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: Kreasi Wacana.  2010. hlm. 142.

[5] George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori-Teori Sosiologi Klasik. Jakarta: Kreasi Wacana. 2010. Hlm. 143.

[6] Elly Sumantri. Fenomena Madrasah Bubar Dan Islamic Full Day School. /http://ellysumantri.blogspot.com/2010/06/sekolah-islam-terpadu-fenomena.html, pada tanggal 11 Juni 2011.

[7]    Citra Dewi. Implementasi Sistem Pembelajaran Terpadu di Sekolah Islam Terpadu (SIT) Ar Risalah Surakarta. Tesis Prodi Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2010.

[8] Al-Jauziyah dan Ibnu Qayim. Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, diakses dari http://majelispenulis.blogspot.com/2011/07/pendidikan-islam-persepsi-ibnu-al.html, pada tanggal 16 Juli 2011.

[9]  Miryam A. Sigarlaki. Problematika Remaja di Era Digital. Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) di Gedung Hindarto Joesman Jalan Terusan Sudirman Kota Cimahi, Minggu, 2 April 2017.

https://smaitabubakar.sch.id/metode-pendidikan-berbasis-agama-sebagai-upaya-pendidik-di-sekolah-islam-terpadu-untuk-menanggulangi-dekadensi-moral-generasi-z/